Cerita tentang anak kampung halaman yang sekarang tak akan kau temui lagi.
Gunung Marapi begitu jelas tampak dari belakang dapur saat anak-anak kampung menabur sisa makanan untuk ayam jago kebanggaan mereka. Ya, Gunung Marapi, begitu orang kampung menyebutnya. Konon, nenek moyang kami berlabuh di atas puncaknya dan kemudian turun ke lembah karena semakin lama semakin bertambah. Entah, kau percaya dengan teori itu, aku dan kawan-kawanku tak pernah ingin membahasnya karena selalu menghabiskan waktu.
Pagi hari memang begini di kampung, setelah sholat subuh, mereka tak kembali tidur. Mereka dilatih untuk bekerja lebih pagi, sejak pagi dan tak ada pengecualian. Apalagi kalau kau ternyata adalah lelaki di keluargamu. Anak jantan, kebanggaan. Jangan harap kau bisa tidur setelah subuh. Kandang ayam kan jadi sasaran pertama, sisa makanan tadi malam, dikumpulkan di nampan usang lalu disiram sedikit air. Lama kupikir mengapa begitu, tapi akhirnya aku menyerah karena tak pernah ada jawaban yang memuaskan. Namun, kata pamanku, bagi anak lelaki hanya ada dua kekalahan, pertama kekalahan saat tidur nyenyak dan ketinggalan shaf subuh. Sekali-kali jangan kau lakukan. Celaka, nanti kujelaskan mengapa.
Kekalahan kedua, jika ternyata ayam telah keluar kandang tapi kau masih diranjang. Nah, malang nasibku kawan, aku sering kalah. Ayam jagoku sering mendahuluiku, lebih parah lagi Bapak yang selalu membukakan pintu, hingga ayam yang saban hari kupaksa turun gelanggang nyaris tak kenal aku. Jago, selalu memberikan kemenangan jika Bapak yang membawanya turun gelanggang sedangkan denganku, bersuara saja tidak. Kurang ajar memang, Ayam saja menganggap remeh aku. Berat sekali pagiku, kalau aku terlambat sholat dan Jago lebih memilih Bapak timbang Aku yang jelas-jelas mengeluarkan kepeang dan mengurusi hari-hari.
Tentang aku dan tanah lahirku, sekali saja kuberi tahu. Tak akan pernah aku ulangi jika kalian tak meminta. Nagari tempat aku dilahirkan dan dibesarkan berada di aliran Sungai Bengkawas. Aku dilahirkan di rumah seorang Dukun yang masih berkarib dan bertali darah dengan Bapak. Bapak dan Ibu membesarkanku dan berharap anaknya 'menjadi orang'. Dukun yang membidani kelahiranku berpesan, "anak yang lahir saat magrib di hari rabaa, hanya punya dua pilihan. Dia akan menjadi sangat cerdas atau kebalikannya". Ibu hanya tersenyum dan mengangguk tanpa kata. Bukan berarti setuju, bukan, nanti aku ceritakan ibuku padamu. Tak segampang itu, perkataan seorang cenayang bisa merusak peristiwa lahirku.
Belakangan baru aku tahu, pamanku yang memberikan pengakuan. "Bujang, kau anak tertua di keluarga ini, sekarang kuajari dulu kau bekerja, agar kau tahu nanti saat sekolah, kau lebih memilih betah di sekolah timbang berendam di sawah dan memunggungi langit".
Tentang memunggungi langit, orang kampungku, sebagian besar adalah petani, pengolah sawah dan pengendali padi terbaik. Sampai sekarang pun masih. Jika kau membayangkan tanah tempat aku lahir, secara sederhana kami adalah orang pedalaman gunung, tepi sungai dengan petak petak sawah dengan hasil beras terbaik sampai sekarang.
Orang-orang kampung memanggilku Tanang. Orang tua, anak muda dan bocah-bocah memanggilku Dawan. Ga nyambung memang, jangan kalian paksanakan, kalian juga akan tahun sendiri bahkan mungkin pernah mengalaminya. Begitu memang di kampung, nama tak begitu penting, yang paling penting kalian tidak memanggil kawan kalian dengan binatang atau nama-nama tak layak dengar lainnya.
Pagi itu, hari pertama sekolah. Sekolah Dasar Negeri di tengah pusat nagari. Konon, tak ada yang bisa menandingi anak-anak yang bersekolah di sana. Semua kejuaraan dan perlombaan digondol oleh siswa-siswi jebolan. Tapi, walau begitu tak menjadi soal bagiku. Toh aku pun tak memikirkan itu.
"Tanang, bangun. Hari pertama jangan terlambat. Nanti disuruh hormat bendera". Bapakku bicara dari ruang tengan, sayup-sayup sampai terdengar di telingaku. Selimut merah bercorak bunga, hadiah ulang tahun pernikahan Ibu dan Bapak, aku singkap sedikit demi sedikit. Bukan apa-apa, rumah yang berada di lembah segar Batang Bengkawas begitu dingin. Mandi pagi saja aku setengah mati kawan, kalau tak dipecut atau digertak aku baru mandi ke sungai.
Tak lama berselang, suara lain ditangkap telingaku. "Tanang, hari ini kalau telambat dihukum, disuruh melagukan Indonesia Raya sembari hormat di tiang bendera, di sekolah Ibu begitu". Mendengar suara Ibuku, aku langsung bangkit, segera ke kamar mandi. Kawan, aku tak tahu jika sekian banyak suara yang pernah aku dengar hanya suara ibu yang tak bisa kutentang. Sampai sekarang, kutulis cerita ini, aku masih belum menemukan jawaban. (kalau punya cerita yang sama, hubungi aku, kita cari bersama jawabannya).
Tak lama berselang, semua orang berkumpul di ruang makan. Kakeku, keluar dari kamarnya dengan membesarkan volume radio butut, hadiah perpisahan dari keluarga besar SMP Balimbing, satu-satunya sekolah menengah pertama sejak zaman, entah kapan, aku lupa. Belum pernah kutanya kapan lahir dan siapa angkatan pertamanya.
Radio butut, warna silver dengan volume yang mumpuni untuk ruang makan selalu menyala saat kami makan pagi. Lewat radio itu, aku mengenal, Zainuddin MZ. Kakek sering menantangku, "Tanang, bisa ndak kamu jadi pendakwah seperti beliau (itu). Tidak sembarang bicara, sekali bicara bisa didengar jamaah dan senantiasa berbicara hikmah". Selalu kujawab, "Iya, nanti kalau ramadhan, bulan puasa, aku belajar dengan Gaek Buya biar bisa seperti Zainuddin MZ". Kakek selalu sumringah mendengar jawabku begitu.
Percakapan antara aku dan kakek, berhenti kalau semua sudah duduk dan khidmat berdoa di depan bakul nasi, sepiring tempe goreng, sambalado jariang atau jengkol dan kerupuk. Tak lupa lalapan daun pepaya, kesukaan Bapak. Nanti aku ceritakan daun pepaya, orang kampung lazim menyebutnya daun kalikih. Sama dengan keluarga lainnya, keluargamu juga, kami bergantian diambilkan sepiring nasi oleh Ibu. Lalu, piring jatahku disodorkan denga kasih sayang, kulihat selayang pandang, tak cuma sekepal nasi. "ini telur mata sapi, separuh matang untuk Tanang, supaya nanti semangat sekolah dan jadi tentara, biar kuat pegang senjata". Kejadian ini, peristiwa ini membuatku memilih aku harus terus sekolah dan tak akan pernah tidak sekolah, karena nanti pamanku akan mengajakku ke sawah. Itu cerita di hari pertamaku berbaju putih, bercelana merah dengan dasi tut wuri handayani.
Cerita bersambung : Damam
Penulis : Awalul Ikhwan
Editor : Dapua Redaksi
Foto : Awalul Ikhwan